Abdul Qadir kecil dilahirkan di
kota Gilan atau Jilan, di selatan Laut Kaspia Persia (Iran), tepatnya
pada malam 1 Ramadhan 470 H /1077 M. Beliau memiliki nama lengkap Sayyid
Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shalih Zango Dost
Al-Jilani. Kata “Jilani” di belakang nama Syeikh Abdul Qadir tampaknya
merujuk pada kampung kelahirannya.
Ayahnya bernama Abu Shaleh.
Beliau adalah seorang yang taat beragama dan memiliki hubungan keturunan
dengan sayyidina Hasan (putra sulung Sayyidina Ali karramallâhu
wajhah). Silsilah lengkapnya adalah: Muhyid-Din Abu Muhammad Abdul Qadir
ibnu Abi Shaleh bin Musa bin Abdillah bin Yahya bin az-Zahid bin
Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Musa
al-Mahd bin Hasan al-Musanna bin Hasan bin Ali bin Abi Talib. Sementara
ibunya bernama Fatimah binti Abdillah ash-Shauma’i, wanita yang terkenal
memiliki Maqam Wilayah (seorang waliyullah). Sayyidah Fatimah
ash-Shauma’i masih merupakan keturunan sayyidina Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Dengan demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah keturunan
Sayyidina Hasan dan Husain.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
rahimahumullâh hidup pada abad 11 M, bertepatan dengan 470–561 H. Pada
tahun itu, akidah mendapat serangan yang sangat mematikan dari dua kubu,
yaitu spiritualisme ekstrem al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah.
Kekacauan dan pergolakan umat ketika itu membahayakan akidah para
pemimpin dan para jendral perang, dan menjerumuskan mereka kedalam
kekeruhan politik dan dekadensi moral. Perubahan arah politik ketika itu
sudah tidak karuan. Salah satu penyebabnya adalah runtuhnya Bani
Buwaihi dari kelompok Syiah dan datangnya dinasti Saljuk untuk menguasai
Baghdad. Zaman emas dinasti Abbasiyah telah berlalu. Kekhalifahan Islam
jatuh ke tangan khalifah yang lemah. Kendali Khalifah jatuh ke tangan
para tentara dan panglima perang yang tamak. Kendatipun keadaan politik
sangat tidak bersahabat, keadaan itu tidak menjadi alasan bagi Abdul
Qadir muda untuk ikut terhanyut arus. Malah sebaliknya, beliau lebih
menjadikan ini sebagai ujian dan sarana untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah Subhânahu wata‘âlâ. Beliau selalu mengingatkan manusia akan
kerendahan dunia dan tak henti-hentinya memberikan wejangan kepada
mereka, mendirikan majlis taklim, dan mengajak manusia untuk selalu
berjalan mengikuti tuntunan agama. Beliau ibarat purnama dalam
kegelapan.
Sejak kecil, Abdul Qadir dikenal
sebagai anak pendiam. Ia mempunyai perangai baik dan sopan santun yang
tinggi. Di usia yang masih dini itu, ia kerap kali termenung meghayati
arti kehidupan dan pendalaman akidah.
Memasuki usia 18 tahun,
kedahagaanya akan ilmu agama mulai tampak. Ia mulai senang berkumpul
dengan orang-orang saleh dan mengaji kepada para ulama. Keinginannya
yang kuat tidaklah ia biarkan dan menjadi mimpi belaka. Di usia itu ia
rela meninggalkan orang-orang yang ia cinta dan membuang kegemaran
bermain-main seperti yang di lakukan para remaja saat itu. Tahun 488
H/1095 M, ia berkelana menuju Baghdad yang ketika itu menjadi pusat ilmu
pengetahuan.
Ada cerita unik terkait dengan
keberangkatannya menuju kota Baghdad. Hikayah ini diceritakan oleh Imam
asy-Syathnufi: “Ketika saya meminta izin kepada ibu untuk pergi ke
Baghdad guna menuntut ilmu, beliau memberikan bekal kepadaku 40 Dinar
dan menjahitnya di bawah ketiak bajuku. Beliau berwasiat kepadaku agar
selalu bersifat jujur. Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba ada 60 orang
penunggang kuda, mereka merampas harta para kafilah. Tidak seorangpun
yang mengetahuiku, lalu salah seorang dari mereka mendekatiku dan
bertanya kepadaku, “Berapa uang yang kamu bawa wahai orang miskin?” Saya
menjawab, “40 dinar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Di mana ia kau
simpan?” Saya jawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Ia mengira
aku meledeknya, sehingga ia meninggalkanku dan pergi. Lalu ada
perampok lain yang menghampiriku dan bertanya kepadaku seperti
pertanyaan orang pertama. Aku pun menjawabnya seperti jawabanku yang
pertama. Kemudian dia pun pergi meninggalkanku. Pada akhirnya keduanya
bertemu dan melaporkan apa yang telah mereka dengar dariku kepada
pemimpin mereka. Pemimpin penyamun itu berkata, “Antarkan aku sekarang
kepadanya!” Setelah ia menemuiku, dia bertanya, “Apa yang kamu bawa?”
Saya menjawab, “Uang 40 Dinar”. Dia bertanya lagi, “Di mana ia?” Aku
menjawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Syahdan, ia
menyuruhku untuk merobek dan membukanya. Ia pun menemukan uang itu.
Setelah itu ia bertanya kepadaku, “Mengapa kamu mengaku?” Saya menjawab,
“Aku berjanji kepada ibuku untuk selalu jujur, dan aku tidak ingin
mengkhianatinya.”
Mendengar alasanku, orang itu
menangis seraya berkata, “Kamu tidak ingin mengingkari janjimu kepada
ibumu, sedangkan kami telah menghianati janji kami kepada tuhan selama
bertahun-tahun.” Pemimpin para penyamun itupun bertaubat di hadapanku,
dan kawan-kawannya berkata, “Kamu adalah pemimpin kami dalam perampokan,
maka sekarang kamu adalah pemimpin kami dalam bertaubat. Akhirnya
mereka semua bertaubat dihadapanku dan mengembalikan barang rampasannya
kepada para kafilah.
Kebesaran nama Syaikh Abdul
Qadir, baik sebagai ulama yang alim dalam bidang usul fikih atau sebagai
teolog ulung, tidaklah ia peroleh dengan mudah. Perjuangan beliau dalam
menimba ilmu agama sangatlahlah keras. Ia menghabiskan waktu 32 tahun
untuk menimba ilmu agama. Dalam perjalanannya ia sering kehabisan bekal,
sehingga tidak jarang ia memakan sisa-sisa semangka dan daun-daun
kering di pinggiran sungai dan parit. Usaha yang sangat berat tidaklah
berakhir secara sia-sia. Terbukti pada akhirnya beliau dapat menguasai
13 macam ilmu.
Dalam ilmu fikih, ia belajar
kepada Abi Sa’ad al Makhzumi–salah seorang ulama bermadzhab Hanafi yang
terkenal sangat alim. Ia pun mewarisi kealiman gurunya itu. Salah satu
bukti kealiman beliau adalah ketika fatwa beliau diperlihatkan kepada
ulama-ulama di Irak. Mereka merasa kagum kepada beliau seraya berkata,
“Maha suci Allah yang telah menganugrahkan kepadanya nikmat yang besar.”
Setelah beliau matang dalam ilmu
fikih, beliau mulai terasa tertarik untuk mempelajari ilmu batin, yaitu
ilmu untuk menata hati. Dalam hal ini, beliau berguru kepada Abi
Zakariyya At-Tibrizi. Diceritakan bahwa beliau menjadi murid kesayangan
gurunya yang satu ini.
Selain itu, beliau juga
mempelajari ilmu tarekat kepada syaikh Muhammad bin Muslim ad-Dabbas.
Dalam tempaan gurunya ini, beliau sering melakukan riyadhah dan mulai
senang menyendiri untuk menyucikan hati. Diriwayatkan bahwa dalam
pengembaraanya ini, Ia selalu di datangi oleh Nabi Khaidir dan para
lelaki suci dari alam lain (malaikat).
Setelah 25 tahun, Syek Abdul
Qadir Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Irak. Ia benar-benar menjadi orang yang paling disegani dan
terkenal sebagai tokoh sufi besar, karena keberhasilannya memadukan ilmu
syariat dan tarekat.
Syaikh Abdul Qadir adalah
seorang tokoh sufi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk
kepentingan umat. Sebagaian besar jalan yang beliau tempuh adalah dengan
cara berdakwah dan mengisi majelis-majelis taklim, sehingga perhatian
beliau kepada tulis-menulis sangatlah terbatas. Tapi di tengah-tengah
kesibukan itu beliau masih sempat merampungkan beberapa karya, antara
lain al-Ghunyah li Thalibi Tharîqil-Haq, Futûhul-Ghaib,
al-Fathur-Rabbâni.
Abu Husain al-Yunani berkata,
“Saya mendengar Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata, ‘tidak pernah
kita mendengar karamah seseorang secara mutawatir kecuali karamah Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani’.” Diriwayatkan dari Siti Fatimah binti Abdillah
(ibunda Syaikh Abdul Qadir), bahwa ketika itu di desa Jilan Siti Fatimah
terkenal mempunyai seorang bayi yang tidak mau menyusu ketika bulan
Ramadhan tiba. Bayi mungil itu adalah Abdul Qadir kecil. Pada suatu hari
akhir bulan Sya’ban, langit desa Jilan diselimuti kabut, sehingga para
penduduk tidak bisa melihat hilal. Merekapun ragu apakah hari itu sudah
termasuk Ramadhan atau belum. Selanjutnya mereka beramai-ramai
mendatangi kediaman Siti Fatimah as-Sauma’i, dan menanyakan apakah hari
ini Abdul Qadir menyusu atau tidak? Setelah mendapat jawaban dari Siti
Fatimah as-Sauma’i bahwa hari itu Abdul Qadir tidak mau menyusu,
akhirnya mereka yakin bahwa hari itu sudah memasuki bulan Ramadhan.
Hampir selama 40 tahun lamanya
Syeikh Abdul Qadir membimbing masyarakat lewat pengajian dan madrasah
yang didirikannya. Perjalanan panjang beliau berakhir ketika dipanggil
menghadap Sang Ilahi Rabbi pada usia 91 tahun, tepatnya pada malam sabtu
tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H (1166 M). Jasad beliau di makamkan di kota
Baghdad. Kepergianya dari alam dunia barangkali mentiadakan jasadnya
dari pandangan kita, tapi nama dan pengaruhnya akan selalu hidup
menyinari hati kita.
Dari Berbagai Sumber termasuk Al Kisah (Musholla Rapi online
No comments:
Post a Comment