Thursday, 13 December 2012
Friday, 16 November 2012
TATA CARA MEYAMBUT AWAL TAHUN DAN AKHIR TAHUN BULAN HIJRIYAH
Ketika di Akhir tahun yaitu di akhir bulan Dzulhijjah (Bulan Haji /Bulan Rahayung) kita di anjurkan membaca Al-Fatihah 1x (satu kali)
اِلَى حَضْرَةِ النَّبِّيِ اْلمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَاَصْحَا بِهِ شَيْءُ للهِ لَهُمُ اْلفَا تِحَةْ ................
Lalu membaca doa akhir tahun :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمْدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ . اَللّهُمَّ مَا عَلِمْتُ فِي هذِهَ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ وَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَنَسِيْتُه وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَنِّيْ مَعَ قَدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَا بَ وَاْلغُفْرَانَ فَتَقَبَّلْهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ ،
يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Artinya :
“ Dengan Nama Allah, yang maha pengasih lagi maha penyayang. Dan semoga Allah menambahkan rahmat dan keselamatan atas junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahatnya.
Ya Allah! Apabila hamba mengerjakan perbuatan yang telah Engkau larang (perbutan buruk) pada tahun yang lalu dan hamba belum bertaubat, sedangkan Engkau tidak meridhoinya dan hamba lupa, sedangkan Engkau tidak segera menyiksa diriku padahal Engkau berkuasa untuk menjatuhkan siksa atas diriku dan Engkau memerintah kepadaku untuk bertaubat, tetapi hamba membangkang.
Ya Allah! Sekarang hamba bertaubat atas dosa-dosa hamba dan terimalah seluruh amal baik hamba dan janganlah Engkau putus harapan hamba atas Engkau! Wahai Dzat yang Maha Pemurah, Wahai Dzat yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Dan semoga Engkau memberikan rahmat dan keselamatan atas junjungan kami nabi Muhamad SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya".
Setelah membaca doa’ di atas sebanyak 3x kemudian di akhiri lagi dengan membaca al-Fatihah 1x (satukali).
HASIAT DOA INI DAN FAEDAHNYA:
Barang siapa yang membaca doa di atas , Maka Syetan berkata : “Celakalah! Pekerjaan kita selama satun tahun di hancurkan oleh pekerjaan manusia dalam waktu kurang lebih 1 jam.
Setelah membaca doa’ di atas sebanyak 3x kemudian di akhiri lagi dengan membaca al-Fatihah 1x (satukali).
HASIAT DOA INI DAN FAEDAHNYA:
Barang siapa yang membaca doa di atas , Maka Syetan berkata : “Celakalah! Pekerjaan kita selama satun tahun di hancurkan oleh pekerjaan manusia dalam waktu kurang lebih 1 jam.
Tuesday, 16 October 2012
Friday, 5 October 2012
Anjuran memperbayak Baca sholawat kepada Nabi Muhammad Pada Malam Jum'at dan Hari Jum'at.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Perbanyaklah membaca shalawat bagiku pada hari jum’at dan malam jum’at, sebab barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku satu shalawat saja maka Allah akan membaca shalawat kepadanya sepuluh kali shalawat”. (HR. Al-Baihaqi 3/249 no. 5790)
Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti (HR. Baihaqi) Shollu 'ala MUHAMMAD !
Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti (HR. Baihaqi) Shollu 'ala MUHAMMAD !
KISAH PARA WALI DAN PEJUANG ISLAM "Kisah Sebagian Karomah Abah Guru Sekumpul"
Pesan Abah Guru Sekumpul "Karaomah yang paling besar adalah Istiqomah dalam ta'at kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW"
KISAH SEBAGIAN KAROMAH ABAH GURU SEKUMPUL (MARTAPURA)
Paman Saya (Haji Lukman Adi), sejak tahun 1983 bermukim di Surabaya. Pada suatu Haul Habib Hamid Basyaiban Pasuruan, beliau ikut serta. Sebelum acara, Beliau sowan ke seorang Habib di sana, yg bernama Ma'shum (Beliau tak tahu, famnya).. Habib Ma'shum : Sampeyan aslinya mana? Paman : Banjar. Habib Ma'shum : Martapura? Paman : jauh lagi, Barabai (Hulu Sungai Tengah). Habib Ma'shum : Kenal Guru Zaini ? Paman : Kenal, namun tak pernah berguru langsung. Habib Ma'shum : dia itu Wali Allah. Paman : Darimana jenengan tahu ? Habib Ma'shum : tadinya saya tak percaya dengan kewaliyan beliau. Saya berkata, Jika Guru Zaini itu betul2 wali Allah, maka hutangku 21 juta rupiah lunas. Lalu saya sowan ke Sekumpul, disambut oleh beliau… Setelah bercakap2 beberapa saat, tiba2 datang seseorang menyerahkan cek kepada Beliau. Beliau berikan cek itu kepada saya, saya lihat jumlahnya persis 21 juta. Beliau berikan cek itu untuk saya, untuk melunasi hutang saya. Padahal saya tak mengatakan pada beliau tentang hutang saya itu. Sejak itu, SAYA BETUL-BETUL TAK BERANI LAGI KURANG AJAR SAMA BELIAU... dalam riwayat ini, ada dua karaamah yg nampak 1. Tahunya Guru bahwa sang tamu, punya hutang dan punya hajat untuk membuktikan kewaliyan beliau. 2. Ini yang paling penting, kedermawanan Beliau. betapa Beliau memberikan uang 21 juta rupiah tanpa ada keinginan menyimpan sedikit. Betapa dunia, benar2 tak dianggap apa-apanya oleh Beliau.. Semoga percikan madad dari Beliau selalu tercurah untuk kita... Aamiin
Berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (QS. Al A’laa [87] : 9-11)
Jika riwayat hidup kaum arifin dibacakan kepada orang yang beriman, maka imannya kepada Allah akan semakin kokoh. Sebab kehidupan mereka merupakan cerminan dari kitabullah yang di dalamnya terkandung ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang kemudian… Habib ‘Ali Al Habsyi …
KISAH SEJATI PARA WALI DAN PEJUANG ISLAM " Habib Husein bin Abu Bakar Al Habsyi "
Habib Husein bin Abu Bakar Al Habsyi
Lahir di Surabaya 21 April 1921 MWafat pada hari Jumat 3 Syaban / 14 Januari 1994 M
Lahir di Surabaya 21 April 1921 MWafat pada hari Jumat 3 Syaban / 14 Januari 1994 M
Habib yang Pejuang Nama Habib Husein bin Abu Bakar Al Habsyi cukup dikenal bukan hanya di Jawa Timur, tapi juga di Nusantara. Putra kelahiran Surabaya 21 April 1921 ini, dikenal sebagai tokoh yang sangat vokal dalam membela Islam. Lebih-lebih pada masa Orde Baru, ustadz yang pernah menduduki kepengurusan teras Masyumi bersama Dr Mohamad Natsir ini, tidak jarang harus berhadapan dengan penguasa di zaman itu. Untuk pendiriannya yang tegas dalam membela kepentingan umat Islam ini, ustadz yang selalu berpenampilan bersih harus beberapa kali masuk penjara. Tapi, itu semua dihadapinya dengan kesabaran, tabah, dan ruh tawakal yang luar biasa. Pengetahuannya tentang Islam telah dimulai sejak kecil melalui pendidikan dasar di madrasah Al-Khoriyah di Surabaya. Pada usia 10 tahun ia sudah aktif mengikuti pengajian rutin yang membahas masalah-masalah fikih, tauhid, dan berbagai kitab lainnya. Berkat ketekunannya itu, sejak usia 12 tahun, Ustadz Husein sudah mampu menguasai dan membaca kitab-kitab dalam bahasa Arab. Setelah lulus, ia kemudian mengajar di madrasah Al-Khoriyah tempat ia digembleng, bersama kakaknya Ustadz Ali. Kedua bersaudara ini kemudian khijrah ke Penang, Malaysia. Haus untuk mendapatkan ilmua, ustadz Husein pernah berguru pada Habib Abdul Kadir Bafagih (ulama besar dan ahli hadis), Syekh Mohammad Roba Hassuna (seorang ulama dari Palestina yang juga mengajar di madrasah Al-Khairiyah, Habib Alwi bin Tahir Alhadad (ulama dan mufti Johor Malaysia), Sayid Muhammad Muntasir Al-Kattani (dari Maroko). Sepulang dari Malaysia, Ustadz Husein mulai aktivitas dakwah dan banyak berkecimpung dalam dunia politik. Dalam menapaki jenjang karirnya di dunia politik ini, ia sempat menduduki kepengurusan teras Masyumi. Di sela kegiatannya yang padat, Ustad Husein masih sempat mengadakan safari dakwah, menyisir daerah-daerah terpencil kaum Muslimin seperti Sorong, pedalaman Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Karena ketegasannya dalam memperjuangkan cita-cita umat Islam, tidak jarang ia harus berhadapan dengan pihak penguasa dan beberapa kali dijebloskan ke penjara. Pada tahun 1960-an, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Setelah tidak lagi aktif dalam partai politik, Ustadz Husein berpendapat bahwa perjuangan Islam lebih afdol melalui pendidikan agama, bukan politik praktis. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Menurut Habib Muhammad Alhabsyi, muridnya, sikap Ustadz Husein yang anti ‘Barat’ dan ’sekularisme’ mendorongnya untuk menerapkan sitstem pendidikan dan peraturan yang sangat ketat bagi para santri. Pada tahun 1971 Ustadz Husein mendidikan Pondok Pesantren (Ponpes) di Bondowoso, Jawa Timur. Dari Bondowoso kemudian hijrah dan mendirikan YAPI Bangil. Karena perkembangannya yang pesat, ia kemudian membangun Pesentren Putra di Kenep-Beji, Pesantren Putri dan TK di Bangil. Enam tahun kemudian, berdirilah Pesantren Al-Ma’hadul Islami di desa Gunung Sari (Kenep), sekitar 40 km dari kota Surabaya — antara Bangil – Pandaan — di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pesantren ini dikelola Yayasan Pesantren Islam (YAPI), didirikan 21 Juni 1976 oleh Ustadz Husein Bin Abu Bakar. Di dekatnya, terdapat sebuah pesantren khusus untuk putri yang juga dikelola YAPI. Selama 18 tahun kedua pesantren ini telah mencetak lebih seribu santri putra dan putri. Menurut Muhammad Alhabsyi yang kini mengelola pesantren itu, hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikiran gurunya ini tercurah untuk kemajuan para santri. Selain mengawasi segala kegiatan di pesantren, ia juga terjun langsung mengajar para santri dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain bahasa Arab, fikih, dan tafsir. Ia mengembangkan metode yang berbeda dalam mengajarkan santrinya. Para santri diajak berdialog sebelum ilmu diajarkan. Ustadz Husein baik dalam pengajaran maupun dalam ceramah-ceramahnya selalu menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan umat. Ia juga menekankan toleransi antar mazhab, memberikan kebebasan berfikir, sehingga mereka tidak mudah dikotak-kotakkan oleh faham/aliran yang sempit. Dengan aplikasi gagasan-gagasannya itu, ujar Muhammad mengenai gurunya ini, ia telah mampu menciptakan era baru dalam pemikiran kaum muslimin yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan Islam di atas kepentingan-kepentingan mazhab dan golongan. Hal ini terbukti sebagaimana buah hasil didikannya pada santri-santrtinya yang kini tersebar di berbagai belahan Nusantara. Para santrinya kini tampil sebagai tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain itu, diantara alumni pesantren YAPI ini dengan mudah dapat melanjutkan pendidikan ke Mesir, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Setelah puluhan tahun tanpa mengenal lelah mengabdikan diri pada Islam dalam dunia pendidikan dan dakwah, pada hari Jumat 3 Syaban bertepatan 14 Januari 1994, ustadz Husein menghadap Ilahi dalam usia 73 tahun di kediamannya di Bangil. Ribuan para pentakziah larut dalam duka dengan khusuk kturut mengiringi jenazahnya dari rumah duka ke Masjid Jamik Bangil untuk dishalatkan. Ia dimakamkan di belakang Masjid Tsaqalain yang terletak di kompleks Pesantren Putra Al-Ma’hadul Islami YAPI, Desa Gnung Sari (Kenep), Pasuruan.
Sumber : Jumat, 28 Mei 2004 © 2006 Hak Cipta oleh Republika Online
Berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (QS. Al A’laa [87] : 9-11)
Jika riwayat hidup kaum arifin dibacakan kepada orang yang beriman, maka imannya kepada Allah akan semakin kokoh. Sebab kehidupan mereka merupakan cerminan dari kitabullah yang di dalamnya terkandung ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang kemudian… Habib ‘Ali Al Habsyi …
Mengenal Ahlussunnah Wal Jama'ah Ahlussunnah Wal Jama’ah Pengantar Menuju Garakan Sosial Oleh: Suud Fuadi
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman – merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “al-Kawâkib al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai: kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Imam Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah (diterangkan dalam Tarîkh al-Tabariy) yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muâmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana-perdata, social-politik, sains dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia).
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham.
Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain (transformasi kesholehan individuan menuju kesholehan sosial). Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Atau dalam istilah lain disebut dengan three principles of human life Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah swt., kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi, mereka berbeda dalam beberapa hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda di dalam manhaj berpikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai anugerah Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya.
Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdîm al-nash ‘alâ al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash. Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash. Karena itu, penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya
Perkembngan Aswaja Dalam Problem-Problem Sosial Dan Dimensi Pengetahuan
Aswaja sebagai imagine islam karena keberadaannya sebagai identitas golongan yang benar dan selamat dalam islam, menjadikannya selalu dilabelkan pada setiap kelompok (organisasi-organisasi) islam. Karena itu pulalah semestinya aswaja dapat dijadikan landasan dalam merumuskan dan menjawab persoalan-persoalan umat seiring dengan perkembangan zaman. Keberadaan term Aswaja yang menjadi justifikasi atas kebenaran islam selayaknya menjadi refleksi bagi umat islam untuk dapat mengejawantahkannya dalam seluruh aspek kehidupannya, karena islam adalah keterpaduan antara aspek duniawi (muamalah) dan aspek ukhrowi (ibadah).
Dalam pada itu pemahaman dan keyakinan atas aswaja seharusnya dapat mewarnai pada setiap relung-relung hidup kita. Permasalahan-permasalahan umat (sosial, ekonomi, politik, hukum, Tekhnologi, budaya dan moralitas) terkait erat dengan pemahaman dan keyakinannya atas nilai-nilai islam (Aswaja). Pada aspek sosial, dengan jelas bahwa islam memfitrahkan manusia sebagai makhluk sosial melalui pengaturan-pengaturan islam dalam hal publik, yang dengannya islam sangat mempengaruhi pola laku perjalanan aspek sosial, begitu juga pada aspek-aspek yang lain. Dengan demikian pemahaman yang holistik akan islam dan meyakini bahwa seluruh laku kita mesti dipertanggungjawabkan, akan sangat berperan dalam pembentukan pribadi yang selaras dengan aswaja dalam seluruh aspek kehidupannya.
Pemateri adalah mantan ketua Komisariat PMII UIN Malang 2005-2006 dan Sekretaris Umum PC. PMII Kota Malang 2006-2007.
Pemateri adalah mantan ketua Komisariat PMII UIN Malang 2005-2006 dan Sekretaris Umum PC. PMII Kota Malang 2006-2007.
Wednesday, 3 October 2012
Sejarah Singkat Majlis Ta'lim Nurul Islam
Majlis Ta’lim Sholawat dan dzikir NURUL ISLAM adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang di bentuk pada hari Senin malam Selasa Tanggal 17 Agustus 2010 oleh Ust. Nadih yang di Bantu oleh Ust.Tatang dan H. sadi atas dasar untuk mewadahi dan menjembati keinginan beberapa anak muda dan organisasi kepemudaan yaitu karang taruna RW 04 yang mulai jenuh dengan pergaulan mereka, memohon agar diajarkan mengaji dan dibentuknya group hadrah, jujur kami akui bahwa majlis ini terbentuk karena di ilhami kegiatan majlis NURUL MUSTHOFA Pimpinan Habib Hasan bin Ja’far AS-segaf yang seringnya mereka mengikuti setiap malam Minggu, Al-hamdulilllah dengan izin Allah SWT dan dukungan ketua Masjid Jami’ Nurul islam Ust.Umar Jamil, Majlis Ta’lim ini masih berjalan, yang di adakan setiap malam Jum’at dari rumah ke rumah para jama’ahnya khususnya Setu, Kp. Kramat (Jakarta-Timur) dan Jatisampurna (Bekasi).
Friday, 21 September 2012
Dialog Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi VS Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda
mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui
hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil
mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam
bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka
sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam
bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya
hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda
sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih,
silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai
saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab
dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke
sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus
atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid,
kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud
jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang
dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih
sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara
logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam
madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari
mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya
manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid),
muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu
membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada
al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara
taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa
Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu
wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda
justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw.
secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang
yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat
mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami
hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i.
Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka
Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca
al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu
melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid
dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda,
dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah
dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya.
Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia
juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab
lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban
Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi,
pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu
mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi
isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam
buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram.
Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu
madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah.
Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam
mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut,
sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang
mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf,
lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan
keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah
mereka.(pustakamuhibbin)
Ijajil – Nama Asli Iblis Karena membangkang, kemulyaannya dicabut
Asal nama IJAJIL
Dalam aneka sastra Jawa, seperti pada SERAT RENGGANIS, SERAT AMBIYA, dll, nama ini sering dipakai sebagai nama sumber kejahatan. Aslinya mengadopsi dari bahasa Arab/ Suryani/ Ibrani: IZAZIL atau AZAZIL/ AZAZEL (ﻋﺯﺍﺯﻴﻞ).
Nama Azazil dapat kita temukan dalam beberapa kitab tafsir, diantaranya
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsier, (Mujallad I-1/76 – 77), Tafsir Al-
Khozin – Tafsir Al- Baghowi (I-1/48). Nama ini juga ada dalam legenda
Yahudi dan digambarkan sebagai SETAN berbadan domba jantan.Azazil adalah seorang Malaikat?
Ibnu Katsier dan penafsir lainnya menulis bahwa Azazil adalah seorang Malaikat yang rupawan dengan memiliki empat sayap, bahkan menjadi Sayyidul Malaaikat sebagai pemimpin malaikat KARUBIYYIN dan juga mendapat tugas sebagai Khoziin al- Jannah (Bendaharawan sorga) selama beberapa puluh ribu tahun sebelum membangkang kepada Allah (Hadist riwayat Ibnu Abbas dari Muhammad bin Ishaq, dari Kholad, dari Ibnu ‘Atho’, dari Thowus, dan dari beberapa hadist yang lain). Namun kalau dihadapkan pada ayat: “Laa ya’shuunalloha maa amarohum wayaf’aluuna maa yu’marun..” = “.. dan para malaikat itu tidak akan mendurhakai Allah dan mereka akan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan…”.(At- Tahriim 6), maka IJAJIL ini mungkin hanya hidup dekat dengan para malaikat tapi ia sendiri BUKAN MALAIKAT, namun level ibadahnya setara dengan malaikat, seperti JIBRAIL- IZRAIL- ISROFIL, MIKAIL dll. Dan ini bersesuaian dengan pernyatan Iblis sendiri: “Kholaqtanii min naar “= “Engkau Ciptakan aku dari api…”, sedangkan kita tahu para malaikat itu diciptakan dari NUR., bukan dari api.
Dalam ayat lain disebutkan: ” Kaana minal Jinn” = Iblis itu bagian dari bangsa Jin…” (Al- Kahfi 51) Demikian juga mereka berkeluarga dan punya anak turun temurun seperti IFRIT (An- Naml 39), sebagaimana disampaikan oleh Imam Mujahid dan Qotadah : “Innahum yatawalladuuna kama yatawalladu banuu Adam” – tidak sebagaimana malaikat yang tidak beranak tidak beristri. (Al- Khoziin/ Al- Baghowi III-1/212 – 216 / Surat Al- Kahfi 50).
Namanya berubah menjadi Iblis
Ketika Allah menciptakan Adam A.S sebagai calon kholifah di bumi dan memerintahkan seluruh malaikat untuk SUJUD HORMAT (bukan sujud menyembah) kepada Adam yang telah diberikan beberapa kelebihan ilmu, maka seluruh malaikat pun bersujud, menghormat Adam, kecuali IJAJIL, karena dipengaruhi oleh watak aslinya, yakni: DENGKI (hasad) dan SOMBONG (takabbur). Dia menolak karena Adam hanyalah makhluq yang diciptakan dari tanah, sedang dia diciptakan dari api. “Abaa wastakbaro wakaana minal kaafiriin = Dia menolak dan menyombongkan diri, maka dia termasuk kedalam kelompok mereka- mereka yang kafir”(Al- Baqoroh 34).
Maka sejak pembangkangan dan kesombongannya itu runtuhlah kemuliaan dan ketinggian namanya (Ibrani: Aza = Izzah = mulia, El = Eli= Allah ==>Azazil = makhluk yang dimuliakan Allah). Rupanya pun berubah buruk menakutkan dan sebutan panggilannya diganti oleh Allah menjadi IBLIS laknatullah, dari kalimat BALASA yang artinya adalah “terputus dari rahmat Allah”.
Maka siapapun, bahkan termasuk makhluq yang pada awalnya mulia seperti Ijajil yang amaliyahnya setara atau bahkan mengungguli amaliyah para malaikat, apabila dia melakukan dua hal tersebut diatas, yakni: 1- Abaa (membangkang), dan 2- Istakbaro (pembangkangannya dilakukan karena kesombongan hatinya), maka akan jatuhlah ia pada kekafiran, naudzu billaahi mindzaalik.
Iblis, bapak segala setan, hidup sampai akhir zaman
Karena pembangkangannya, maka Allahpun melaknatinya dan mengancam siapapun yang ikut membangkang bersama dia dengan firman Nya: “Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka jahannam dengan jenis kamu dan segala orang- orang yang mengikuti kamu diantara mereka semuanya” (Shood 85).
Karena ia menganggap kemuliaannya runtuh gara- gara Adam, iapun mendendam dan bersumpah akan menggoda dan merayu Adam dan seluruh keturunannya, kecuali mereka- mereka yang hatinya bersih dan ikhlas. (Shod 83).
” Maka segala godaan dan rayuan tak akan mempan menghadapi orang- orang yang hati dan jiwanya bersih. Untuk melampiaskan dendamnya, ia memohon kepada Allah agar kematiannya ditunda sampai hari kiamat, iapun memohon:
“Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (Al- Hijr 36/ Shod 79).
Allah mengabulkan permintaan Iblis tersebut dengan firman Nya:
“Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang ditangguhkan (ajalnya). Sampai waktu yang telah dimaklumi (yakni hari kiamat)”. QS. Shod 80 – 81.
Demikianlah, Iblis dan segala zuriyatnya
tak akan mati dan terus beranak pinak sampai hari kiamat tiba, dan
terus menerus tanpa kenal lelah akan menggoda dan merayu zurriyyat Adam.
Semoga Allah menjadikan hati kita bersih dan ikhlas dalam beramal sehingga kita dapat selamat dari rayuan gombal keturunan IJAJIL. Amiin.
Semoga Allah menjadikan hati kita bersih dan ikhlas dalam beramal sehingga kita dapat selamat dari rayuan gombal keturunan IJAJIL. Amiin.
_______________________________________
Oleh: KH.Khaeruddin Khasbullah
Raja Para Wali
Abdul Qadir kecil dilahirkan di
kota Gilan atau Jilan, di selatan Laut Kaspia Persia (Iran), tepatnya
pada malam 1 Ramadhan 470 H /1077 M. Beliau memiliki nama lengkap Sayyid
Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shalih Zango Dost
Al-Jilani. Kata “Jilani” di belakang nama Syeikh Abdul Qadir tampaknya
merujuk pada kampung kelahirannya.
Ayahnya bernama Abu Shaleh.
Beliau adalah seorang yang taat beragama dan memiliki hubungan keturunan
dengan sayyidina Hasan (putra sulung Sayyidina Ali karramallâhu
wajhah). Silsilah lengkapnya adalah: Muhyid-Din Abu Muhammad Abdul Qadir
ibnu Abi Shaleh bin Musa bin Abdillah bin Yahya bin az-Zahid bin
Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Musa
al-Mahd bin Hasan al-Musanna bin Hasan bin Ali bin Abi Talib. Sementara
ibunya bernama Fatimah binti Abdillah ash-Shauma’i, wanita yang terkenal
memiliki Maqam Wilayah (seorang waliyullah). Sayyidah Fatimah
ash-Shauma’i masih merupakan keturunan sayyidina Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Dengan demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah keturunan
Sayyidina Hasan dan Husain.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
rahimahumullâh hidup pada abad 11 M, bertepatan dengan 470–561 H. Pada
tahun itu, akidah mendapat serangan yang sangat mematikan dari dua kubu,
yaitu spiritualisme ekstrem al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah.
Kekacauan dan pergolakan umat ketika itu membahayakan akidah para
pemimpin dan para jendral perang, dan menjerumuskan mereka kedalam
kekeruhan politik dan dekadensi moral. Perubahan arah politik ketika itu
sudah tidak karuan. Salah satu penyebabnya adalah runtuhnya Bani
Buwaihi dari kelompok Syiah dan datangnya dinasti Saljuk untuk menguasai
Baghdad. Zaman emas dinasti Abbasiyah telah berlalu. Kekhalifahan Islam
jatuh ke tangan khalifah yang lemah. Kendali Khalifah jatuh ke tangan
para tentara dan panglima perang yang tamak. Kendatipun keadaan politik
sangat tidak bersahabat, keadaan itu tidak menjadi alasan bagi Abdul
Qadir muda untuk ikut terhanyut arus. Malah sebaliknya, beliau lebih
menjadikan ini sebagai ujian dan sarana untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah Subhânahu wata‘âlâ. Beliau selalu mengingatkan manusia akan
kerendahan dunia dan tak henti-hentinya memberikan wejangan kepada
mereka, mendirikan majlis taklim, dan mengajak manusia untuk selalu
berjalan mengikuti tuntunan agama. Beliau ibarat purnama dalam
kegelapan.
Sejak kecil, Abdul Qadir dikenal
sebagai anak pendiam. Ia mempunyai perangai baik dan sopan santun yang
tinggi. Di usia yang masih dini itu, ia kerap kali termenung meghayati
arti kehidupan dan pendalaman akidah.
Memasuki usia 18 tahun,
kedahagaanya akan ilmu agama mulai tampak. Ia mulai senang berkumpul
dengan orang-orang saleh dan mengaji kepada para ulama. Keinginannya
yang kuat tidaklah ia biarkan dan menjadi mimpi belaka. Di usia itu ia
rela meninggalkan orang-orang yang ia cinta dan membuang kegemaran
bermain-main seperti yang di lakukan para remaja saat itu. Tahun 488
H/1095 M, ia berkelana menuju Baghdad yang ketika itu menjadi pusat ilmu
pengetahuan.
Ada cerita unik terkait dengan
keberangkatannya menuju kota Baghdad. Hikayah ini diceritakan oleh Imam
asy-Syathnufi: “Ketika saya meminta izin kepada ibu untuk pergi ke
Baghdad guna menuntut ilmu, beliau memberikan bekal kepadaku 40 Dinar
dan menjahitnya di bawah ketiak bajuku. Beliau berwasiat kepadaku agar
selalu bersifat jujur. Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba ada 60 orang
penunggang kuda, mereka merampas harta para kafilah. Tidak seorangpun
yang mengetahuiku, lalu salah seorang dari mereka mendekatiku dan
bertanya kepadaku, “Berapa uang yang kamu bawa wahai orang miskin?” Saya
menjawab, “40 dinar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Di mana ia kau
simpan?” Saya jawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Ia mengira
aku meledeknya, sehingga ia meninggalkanku dan pergi. Lalu ada
perampok lain yang menghampiriku dan bertanya kepadaku seperti
pertanyaan orang pertama. Aku pun menjawabnya seperti jawabanku yang
pertama. Kemudian dia pun pergi meninggalkanku. Pada akhirnya keduanya
bertemu dan melaporkan apa yang telah mereka dengar dariku kepada
pemimpin mereka. Pemimpin penyamun itu berkata, “Antarkan aku sekarang
kepadanya!” Setelah ia menemuiku, dia bertanya, “Apa yang kamu bawa?”
Saya menjawab, “Uang 40 Dinar”. Dia bertanya lagi, “Di mana ia?” Aku
menjawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Syahdan, ia
menyuruhku untuk merobek dan membukanya. Ia pun menemukan uang itu.
Setelah itu ia bertanya kepadaku, “Mengapa kamu mengaku?” Saya menjawab,
“Aku berjanji kepada ibuku untuk selalu jujur, dan aku tidak ingin
mengkhianatinya.”
Mendengar alasanku, orang itu
menangis seraya berkata, “Kamu tidak ingin mengingkari janjimu kepada
ibumu, sedangkan kami telah menghianati janji kami kepada tuhan selama
bertahun-tahun.” Pemimpin para penyamun itupun bertaubat di hadapanku,
dan kawan-kawannya berkata, “Kamu adalah pemimpin kami dalam perampokan,
maka sekarang kamu adalah pemimpin kami dalam bertaubat. Akhirnya
mereka semua bertaubat dihadapanku dan mengembalikan barang rampasannya
kepada para kafilah.
Kebesaran nama Syaikh Abdul
Qadir, baik sebagai ulama yang alim dalam bidang usul fikih atau sebagai
teolog ulung, tidaklah ia peroleh dengan mudah. Perjuangan beliau dalam
menimba ilmu agama sangatlahlah keras. Ia menghabiskan waktu 32 tahun
untuk menimba ilmu agama. Dalam perjalanannya ia sering kehabisan bekal,
sehingga tidak jarang ia memakan sisa-sisa semangka dan daun-daun
kering di pinggiran sungai dan parit. Usaha yang sangat berat tidaklah
berakhir secara sia-sia. Terbukti pada akhirnya beliau dapat menguasai
13 macam ilmu.
Dalam ilmu fikih, ia belajar
kepada Abi Sa’ad al Makhzumi–salah seorang ulama bermadzhab Hanafi yang
terkenal sangat alim. Ia pun mewarisi kealiman gurunya itu. Salah satu
bukti kealiman beliau adalah ketika fatwa beliau diperlihatkan kepada
ulama-ulama di Irak. Mereka merasa kagum kepada beliau seraya berkata,
“Maha suci Allah yang telah menganugrahkan kepadanya nikmat yang besar.”
Setelah beliau matang dalam ilmu
fikih, beliau mulai terasa tertarik untuk mempelajari ilmu batin, yaitu
ilmu untuk menata hati. Dalam hal ini, beliau berguru kepada Abi
Zakariyya At-Tibrizi. Diceritakan bahwa beliau menjadi murid kesayangan
gurunya yang satu ini.
Selain itu, beliau juga
mempelajari ilmu tarekat kepada syaikh Muhammad bin Muslim ad-Dabbas.
Dalam tempaan gurunya ini, beliau sering melakukan riyadhah dan mulai
senang menyendiri untuk menyucikan hati. Diriwayatkan bahwa dalam
pengembaraanya ini, Ia selalu di datangi oleh Nabi Khaidir dan para
lelaki suci dari alam lain (malaikat).
Setelah 25 tahun, Syek Abdul
Qadir Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Irak. Ia benar-benar menjadi orang yang paling disegani dan
terkenal sebagai tokoh sufi besar, karena keberhasilannya memadukan ilmu
syariat dan tarekat.
Syaikh Abdul Qadir adalah
seorang tokoh sufi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk
kepentingan umat. Sebagaian besar jalan yang beliau tempuh adalah dengan
cara berdakwah dan mengisi majelis-majelis taklim, sehingga perhatian
beliau kepada tulis-menulis sangatlah terbatas. Tapi di tengah-tengah
kesibukan itu beliau masih sempat merampungkan beberapa karya, antara
lain al-Ghunyah li Thalibi Tharîqil-Haq, Futûhul-Ghaib,
al-Fathur-Rabbâni.
Abu Husain al-Yunani berkata,
“Saya mendengar Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata, ‘tidak pernah
kita mendengar karamah seseorang secara mutawatir kecuali karamah Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani’.” Diriwayatkan dari Siti Fatimah binti Abdillah
(ibunda Syaikh Abdul Qadir), bahwa ketika itu di desa Jilan Siti Fatimah
terkenal mempunyai seorang bayi yang tidak mau menyusu ketika bulan
Ramadhan tiba. Bayi mungil itu adalah Abdul Qadir kecil. Pada suatu hari
akhir bulan Sya’ban, langit desa Jilan diselimuti kabut, sehingga para
penduduk tidak bisa melihat hilal. Merekapun ragu apakah hari itu sudah
termasuk Ramadhan atau belum. Selanjutnya mereka beramai-ramai
mendatangi kediaman Siti Fatimah as-Sauma’i, dan menanyakan apakah hari
ini Abdul Qadir menyusu atau tidak? Setelah mendapat jawaban dari Siti
Fatimah as-Sauma’i bahwa hari itu Abdul Qadir tidak mau menyusu,
akhirnya mereka yakin bahwa hari itu sudah memasuki bulan Ramadhan.
Hampir selama 40 tahun lamanya
Syeikh Abdul Qadir membimbing masyarakat lewat pengajian dan madrasah
yang didirikannya. Perjalanan panjang beliau berakhir ketika dipanggil
menghadap Sang Ilahi Rabbi pada usia 91 tahun, tepatnya pada malam sabtu
tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H (1166 M). Jasad beliau di makamkan di kota
Baghdad. Kepergianya dari alam dunia barangkali mentiadakan jasadnya
dari pandangan kita, tapi nama dan pengaruhnya akan selalu hidup
menyinari hati kita.
Dari Berbagai Sumber termasuk Al Kisah (Musholla Rapi online
Tuesday, 18 September 2012
Monday, 17 September 2012
NAMA-NAMA BULAN ISLAM
Allah SWT berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 36 :
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ
عِنْدَاللهِ اثْنَاعَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماوَاتِ وَالاَرْضَ
مِنْهَا اَرْبَعَةَ حُرُمٌ.التوبة
Artinya : Sesungguhnya jumlah bilangan bulan di sisi Allah SWT
ada dua belas bulan di dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan
bumi, diantaranya empat bulan haram.(QS.At-Taubah ayat 36).
Nama-nama bulan dalam Islam :
- Bulan Muharam
- Bulan Shofar
- Bulan Rabiul awwal (Bulan Maulid/ Mulud)
- Bulan Rabiul Akhir (Bulan Silih Mulud)
- Bulan Jumadil awwal
- Bulan Jumadil akhir
- Bulan Rajab
- Bulan Sya’ban (Bulan Rowah)
- Bulan Ramadhan (Bulan Puasa)
- Bulan Syawal
- Bulan Dzulqo’dah (Bulan Hafid)
- Bulan Dzulhijjah ( Bulan Rahayung)
Ketika di Akhir tahun yaitu di akhir bulan Dzulhijjah (Bulan
Haji /Bulan Rahayung) kita di anjurkan membaca Al-Fatihah 1x (satu kali)
اِلَى
حَضْرَةِ النَّبِّيِ اْلمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَاَصْحَا
بِهِ شَيْءُ للهِ لَهُمُ اْلفَا تِحَةْ ................
Lalu membaca doa akhir tahun :
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمْدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ . اَللّهُمَّ مَا عَلِمْتُ فِي هذِهَ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ
عَنْهُ وَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَنَسِيْتُه وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ
عَنِّيْ مَعَ قَدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَا بَ
وَاْلغُفْرَانَ فَتَقَبَّلْهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ
، يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Artinya :
“ Dengan Nama Allah, yang maha
pengasih lagi maha penyayang. Dan semoga Allah menambahkan rahmat dan
keselamatan atas junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga dan
sahabat-sahatnya.
Ya Allah! Apabila hamba
mengerjakan perbuatan yang telah Engkau larang (perbutan buruk) pada tahun yang
lalu dan hamba belum bertaubat, sedangkan Engkau tidak meridhoinya dan hamba lupa, sedangkan Engkau tidak segera
menyiksa diriku padahal Engkau berkuasa untuk menjatuhkan siksa atas diriku dan
Engkau memerintah kepadaku untuk bertaubat, tetapi hamba membangkang.
Ya Allah! Sekarang hamba bertaubat atas dosa-dosa hamba dan
terimalah seluruh amal baik hamba dan janganlah Engkau putus harapan hamba atas
Engkau! Wahai Dzat yang Maha Pemurah, Wahai Dzat yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, Dan semoga Engkau memberikan
rahmat dan keselamatan atas junjungan kami nabi Muhamad SAW, keluarga dan
sahabat-sahabatnya.
Setelah membaca doa’ di atas sebanyak 3x kemudian di akhiri
lagi dengan membaca al-Fatihah 1x (satukali).
HASIAT DOA INI DAN FAEDAHNYA:
Barang siapa yang membaca doa di atas , Maka Syetan berkata
: “Celakalah! Pekerjaan kita selama satun tahun di hancurkan oleh pekerjaan
manusia dalam waktu kurang lebih 1 jam.
Friday, 14 September 2012
ANJURAN MELAKSANAKAN PUASA SUNAH DI SETIAP BULAN HIJRIYYAH / QOMARIYAH.
Banyak sekali hadist-hadist Nabi
Muhammad SAW yang menganjurkan kepada kita
Melakukan amaliyah-amaliyah ibadah
tambahan (sunah) baik yang sifatnya harian,bulanan dan tahunan tujuannya
tak lain agar kebaikan, dan keimanan kita kepada Allah SWT semakin kuat. Oleh
karena itu tidak boleh kita meniggalkan dan menyiakan-nyiakan waktu luang kita,
sunyi dari berdzikir kepada Allah SWT, membaca sholawat kepada Nabi Muhammad dan
mengerjakan puasa sunah di antaranya melaksanakan puasa sunah di setiap bulan
hijriyyah (Qomariyyah) sebagaimana yang telah di sabdakan Nabi Muhammad SAW :
عَنْ أَبِِى هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اَوْصَانِيْ خَلِيْلِيْ (ص) بِثَلاَثَةِ صِيَامِ ثَلاَثَةِ
اَيَّامٍ مَنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَاَنْ اُتِرَ قَبْلَ اَنْ
نَامَ. (متفق عليه)
Artinya :
Abu Huroirah r.a berkata : “Kekasihku Muhammad SAW
berpesan kepadaku supaya berpuasa tiga
hari disetiap bulan, melaksanakan sholat Dhuha dua rakaat dan sholat witir
sebelum tidur”. ( Hr. Buchori, Muslim )
Dalam hadist lain Nabi
Muhammad SAW juga bersabda, menganjurkan kepada kita agar dapat
melaksanakan puasa sunah tiga hari di setiap
bulan pada tanggal 13-14-15.
عَنْ اَبِى
ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): اِذَا صُمْتَ مِنَ
الشَّهْرِ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشَرَةَ وَاَرْبَعَ عَشَرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ.التُّرْمُذِيّ
Artinya :
Abu Dzarr r.a : Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Jika kamu
berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah pada tanggal 13-14-15 tiap
bulan. (HR.At-turmudziy)
Namun demikian bukan berati selain di tanggal 13-14-15
kita tidak di perbolehkan berpuasa sunah, boleh saja melasanakan puasa
ditanggal manapun, boleh pula kita ganti dengan melaksanakan puasa senin-kamis
pada setiap bulan, jika tidak mampu melasanakan pada tanggal yang telah di
tentukan, minim sekali dalam satu bulan sebagaimana yang telah di sabdakan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam hadist lain.
عَنْ
مُجِيْبَةَ اْلبَاهِلِيَّة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): صُمْ شَهْرَالصَّبْرِوَيَوْمًا
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.رواه ابوداود
Berkata Mujibah Al-Baahiliyah Ra : bersabda Nabi
Muhammad SAW : berpuasalah kamu di bulan penuh kesabaran (bulan Ramadhan) dan
satu hari pada setiap bulan. ( Hr.Abu Daud).
Assalamu 'alaikum Wr. Wb
Salam hangat dari Kami segenap pengurus Majlis Ta'lim Nurul Islam, Kami mengajak segenap kaum muslimin dan muslimat marilah kita hadiri dan syiarkan Pengajian Malam Jum'at bersama majlis sholawat dan Dzikir NURUL ISLAM, Malam jum'at yang konon di katakan malam yang menyeramkan pada dasarnya bukan seperti yang selama ini kita bayangkan, karena pada dasarnya malam jumat adalah hari raya para malaikat Allah SWT, oleh karena itu mari kita hadiri Majlis ini agar senantiasa hidup kita di cucuri rahmat dari pada Allah SWT dan umat yang selalu di rindukan baginda RASULULLOH SAW. amin
Subscribe to:
Posts (Atom)